Minggu, 31 Januari 2010

PAPAN HARGA KOMODITAS PERTANIAN DUSUN


Setiap orang pasti pernah menyaksikan papan baca surat kabar yang sering ditemui di perpustakaan, pojok-pojok kampung, dan tempat-tempat lainnya. Tidak berbeda dengan papan surat kabar itu, Papan yang dibicarakan disini juga identik dengan papan itu, hanya saja isinya yang berbeda. Papan Harga Komoditas Pertanian Dusun berisi harga-harga komoditas pertanian yang dibudidayakan di dusun tersebut dan senantiasa diperbaharui setiap jangka waktu tertentu.

Dari sini mungkin akan ada pertanyaan yang muncul, “apaan sih itu? buat apa papan itu? siapa yang mau mengisi?”, dan berbagai pertanyaan lainnya. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan semacam itu, kita perlu melihat beberapa fakta yang terjadi di dalam masyarakat dusun.



Dimulai dari angka kemiskinan, kita akan melihat 80% penduduk miskin tinggal di desa dan sebagain besar penduduk desa itu bermata pencaharian sebagai petani. Kemiskinan itu boleh jadi terjadi karena tidak ditempatkannya petani sebagai penentu harga komoditas hasil pertaniannya. Petani juga selalu dirugikan karena masih terjadinya praktik jual beli ijon (menjual hasil tani sewaktu tanaman masih “hijau”), keengganan /ketidakmampuan petani melakukan pengubinan (penaksiran hasil panen) dalam sistem “tebas”, dan ketidakmampuan petani mengakses harga pasar sebagai dasar tawar-menawar penjualan hasil pertanian.

Satu fakta lagi yang tidak dapat diabaikan adalah jumlah rumahtangga petani di Indonesia mencapai lebih dari 25 juta keluarga. Jika satu keluarga terdiri dari 4 orang, maka sudah lebih dari 100 juta penduduk Indonesia bergantung pada sektor pertanian. Besarnya komposisi penduduk yang bekerja di sektor pertanian tentu mengharuskan peningkatan taraf hidup petani sebagai prioritas utama. Untuk itulah Papan Harga Komoditas Pertanian Dusun ini perlu dihadirkan, terutama untuk memberikan akses kepada petani terhadap harga pasar produk pertanian mereka di pasar-pasar induk daerah setempat.

Bagaimana Cara Kerjanya ?
Ada dua pendekatan yang sebenarnya bisa dilakukan untuk mewujudkannya. Pertama melalui pendekatan sistemik pemerintahan, yaitu informasi mengenai harga komoditas diperoleh melalui aparat pemerintah yang ditunjuk, atau kedua menggunakan pendekatan yang lebih bersifat sosial, memberdayakan komponen-komponen di dalam masyarakat untuk bekerjasama satu-sama lain menurut fungsi sosialnya masing-masing (ups! Sulit dimengerti ya? Hehe...)

Dari dua pendekatan di atas, saya sendiri lebih memilih pendekatan yang kedua, menggunakan pendekatan yang lebih bersifat sosial. Ada tiga komponen masyarakat yang dilibatkan di sini, yaitu pemuda dusun, kelompok tani, dan mahasiswa. Kelompok tani akan menjadi subyek utama di dusun yang bertanggung jawab menyediakan papan harga komoditas dan mengupdate informasi yang disampaikan kepadanya. Sayangnya, belum semua dusun memiliki kelompok tani, kalaupun ada belum tentu anggota kelompok tani tersebut ada yang “melek teknologi”. Dalam masalah ini, pemuda dusun dilibatkan untuk menjembatani permalsahan teknologi. Informasi harga komoditas nantinya akan disampaikan melalui pemuda dusun, kemudian pemuda dusun mengupdate informasi tersebut pada Papan Harga Komoditas yang telah disediakan oleh kelompok tani. Mahasiswa sendiri akan mengambil peran sebagai pencari informasi di pasar induk untuk disampaikan kepada pemuda dusun atau kelompok tani. Peran mahasiswa yang sedikit “luar biasa” ini sengaja diambil karena pasar-pasar induk banyak berada di kota (tempat mahaiswa tinggal sementara) dan juga memfungsikan peran pengabdian masyarakatnya. Media komunikasinya antara kota dan dusun akan dijembatani oleh teknologi seluler, terutama teknologi SMS (short message service). Bentuk pendekatan seperti ini akan lebih baik jika sebelum pelaksanan program telah ada komunikasi yang berjalan antara tiga komponen tersebut, misalnya melalui program Kuliah Kerja Nyata.
Kontinyuitas Program ?

Masalah yang pasti dihadapi adalah menjamin kontinyuitas program ini. Mahasiswa akan segera lulus, dan program pun akan segera terbengkalai. Tentu bukan hal seperti itu yang diharapkan. Oleh karenanya, pelembagaan program seperti ini di tingkat kampus juga perlu dilakukan. Misalnya, jika pendekatan sebelumnya telah dilakukan melalui program Kuliah Kerja Nyata, program itu akan diserahkan kepada Lembaga Eksekutif Mahasiswa yang diserahi tugas untuk mengelola program ini.

Haha... tidak selamanya pengabdian pada masyarakat dilakukan dengan cara demonstrasi, sekali-kali turun ke pasar tidak apa-apa kan?

Bagi operator telepon seluler, mungkin ini bisa menjadi salah satu kegiatan CSR yang murah dan memberdayakan. Selengkapnya...


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Archithings. Powered by Blogger