Senin, 09 Februari 2009

Mitos Kebijakan Afirmatif

Oleh : Amich alhumami,
Peneliti Sosial; Department of Anthropology University of Sussex, Inggris
Sumber : Kompas Cetak, Kamis, 5 Februari 2009 | 00:43 WIB


Di antara berbagai kelompok gerakan sosial, para aktivis perempuan begitu gigih menyuarakan aspirasi keterwakilan perempuan di parlemen.

Mereka galau dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan pemilihan anggota DPR/DPRD yang harus didasarkan pada suara terbanyak. Keputusan ini dinilai akan menggugurkan kebijakan afirmatif yang mengharuskan partai politik menyediakan kuota 30 persen wakil perempuan di DPR. Para pembela hak- hak politik perempuan yang memperjuangkan keterwakilan perempuan di parlemen terperangkap dalam dua kekeliruan. Pertama, salah memahami konsep kebijakan afirmatif. Kedua, terjebak dalam mitos-mitos di dalamnya.

Istilah baku yang digunakan adalah affirmative action, merujuk pada kebijakan yang harus mempromosikan kesetaraan dalam memperoleh akses ke wilayah publik, terutama pekerjaan dan pendidikan. Gerakan sosial yang menuntut kebijakan afirmatif muncul sebagai refleksi pengalaman sejarah yang pahit saat kaum perempuan dan minoritas mengalami diskriminasi sehingga mereka terabaikan dan tersingkir dari kehidupan publik, seperti pernah terjadi di AS hingga akhir 1960-an. Akibat diskriminasi, keterwakilan mereka amat minimal, misalnya di universitas dan tempat kerja. Maka, Presiden Kennedy (1961) mengeluarkan executive order untuk menjamin tiap orang diperlakukan setara tanpa melihat ras, etnik, jender, agama, atau asal-usul kebangsaan untuk masuk universitas atau melamar pekerjaan.


Isu politik

Affirmative action menjadi isu politik besar, berpuncak pada American Civil Rights Movement, yang melahirkan Undang-Undang Hak-hak Sipil yang disahkan Presiden Johnson tahun 1964. Kebijakan afirmatif diperlukan guna menghapus diskriminasi dan menyeimbangkan proporsi keterwakilan tiap kelompok masyarakat di arena publik. Namun, intensi untuk menghapus diskriminasi justru melahirkan mitos-mitos tentang kebijakan afirmatif.

Pertama, perlakuan diskriminasi terhadap suatu kelompok masyarakat selalu bersumber pada prasangka, pengucilan, dan pengabaian, yang berakibat pada penyumbatan aspirasi dan penghambatan akses untuk melakukan mobilitas sosial- politik. Namun, perlakuan diskriminasi tak bisa dilawan dengan menerapkan kebijakan dalam bentuk reverse discrimination karena ia bertentangan dengan makna esensial kebijakan afirmatif. Esensi kebijakan afirmatif adalah mengeliminasi prasangka, pengucilan, dan pengabaian yang melahirkan diskriminasi melalui perlakuan yang adil dan fair. Jadi, kebijakan afirmatif merupakan langkah proaktif dan progresif untuk menghapus perlakuan diskriminasi dengan menilai dan menghargai seseorang berdasarkan individual merits, bukan stereotyped perceptions yang menipu.

Kedua, dalam konteks jender, kebijakan afirmatif tidak sama-sebangun dengan pemberian preferensi, apalagi hak-hak istimewa, kepada kaum perempuan. Ia juga tak berarti memberi peluang kaum medioker (second best groups) untuk menempati posisi tertentu atas nama keterwakilan. Untuk bisa menduduki jabatan publik, kriteria dasar seperti kualitas, kompetensi, dan keahlian harus menjadi persyaratan mutlak bagi laki-laki maupun perempuan. Jadi, kebijakan afirmatif dimaksudkan untuk membuka peluang yang sama dan perlakuan setara bagi siapa pun, berprinsip equal opportunity dengan menghargai dan mengakui keragaman latar belakang sosial budaya untuk berkompetisi secara sehat dan terbuka dalam memperebutkan posisi di arena publik.

Ketiga, kebijakan afirmatif tidak paralel dengan kuota bagi kaum perempuan atau kelompok minoritas. Ada perbedaan fundamental antara tujuan kebijakan afirmatif dan kuota. Tujuan utama kebijakan afirmatif adalah pelibatan sekelompok orang, yang semula tereksklusi dan kurang terwakili di arena publik, tanpa pembatasan dan hanya didasarkan kualifikasi individual. Sistem kuota adalah court assigned to redress a pattern of discriminatory hiring. Karena itu, kebijakan afirmatif tak bisa dijadikan dasar untuk mengangkat seseorang yang tak memenuhi standar kualifikasi dan tak layak menduduki posisi di lembaga publik. Kebijakan afirmatif tidak menoleransi seseorang dengan kemampuan minimal dan berkapasitas rendah—dengan pertimbangan jender atau keragaman sosial budaya—guna menempati jabatan publik.

Kualitas tinggi

Pesan pokok kebijakan afirmatif adalah setiap orang dituntut memiliki kualitas tinggi agar bisa berperan dan berpartisipasi di panggung publik. Keterwakilan suatu kelompok masyarakat (perempuan, minoritas) di lembaga publik harus merujuk pada standar tertentu untuk menjamin mutu dan kinerja. Dalam konteks kontestasi pemilu legislatif, keputusan MK seyogianya menjadi tantangan bagi para pembela hak-hak politik perempuan untuk membuktikan, kaum perempuan layak-pilih bukan karena gender inequity, tetapi kualitas yang baik.

Bangsa ini sudah terlalu lama memberi toleransi kepada para medioker untuk menempati jabatan publik, baik di parlemen maupun pemerintahan. Sungguh amat berisiko bila kita menyerahkan nasib dan masa depan bangsa besar ini kepada para demagog, yang tak punya kualifikasi memadai sebagai pejabat publik.


Selengkapnya...


Free Blogger Templates by Isnaini Dot Com and Archithings. Powered by Blogger